Dan boleh juga tawassul pada Nabi
saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab
ra, bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah
dengan doa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil
perantara
(bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan
hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara
(bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra)
yang
melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka
hujanpun turun dengan derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits
no.3507).
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :
Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan
ucapan Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan
namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra, namun justru
beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam
doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa
Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan
dikabulkan Allah.
Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan
sahabatnya yang melihat Rasul saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra
: “dengan pamannya yang melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat
Nabi saw) jelaslah bahwa melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan
tersendiri disisi Umar bin Khattab ra hingga beliau menyebutnya dalam
doanya, maka melihat Rasul saw adalah kemuliaan yang ditawassuli Umar ra
dan dikabulkan Allah.
Dan boleh tawassul pada benda,
sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian
muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau saw ketika ada yang
sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian
dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin tuhan kami”
(shahih Bukhari hadits no.5413, dan Shahih Muslim hadits no.2194),
ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa
beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat
menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana
dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya,
juga beliau bertawassul pada tanah, menunjukkan diperbolehkannya
bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung
kemuliaan Allah swt, seluruh alam ini menyimpan kekuatan Allah dan
seluruh alam ini berasal dari cahaya Allah swt.
Riwayat lain
ketika datangnya seorang buta pada Rasul saw, seraya mengadukan
kebutaannya dan minta didoakan agar sembuh, maka Rasul saw
menyarankannya agar bersabar, namun orang ini tetap meminta agar Rasul
saw berdoa untuk kesembuhannya, maka Rasul saw memerintahkannya untuk
berwudhu, lalu shalat dua rakaat, lalu Rasul saw mengajarkan doa ini
padanya, ucapkanlah : “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap
kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai
Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada
Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah
jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (Shahih Ibn Khuzaimah
hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata
hadits ini shahih dengan syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar
berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan
orang buta itu yang membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yang
mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw
mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya. Lalu
muncullah pendapat saudara saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada
Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra
bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih
Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur.
Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup,
pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut : “telah datang
kepada utsman bin hanif ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin
Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin
Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu
berdoalah dengan doa : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan
Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih
Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad
saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai
Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama
dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah
dengan ku kesuatu tempat.
Maka orang itupun melakukannya lalu
utsman bin hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman
bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman
bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu
menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu
keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada
utsman bin affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya..?”, maka
berkata Utsman bin hanif ra : “aku tak bicara apa2 pada Utsman bin Affan
ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada
orang buta dan sembuh”. (Majmu’ zawaid Juz 2 hal 279).
Tentunya doa ini dibaca setela wafatnya Rasul saw, dan itu diajarkan
oleh Utsman bin hanif dan dikabulkan Allah. Ucapan : Wahai Muhammad..
dalam doa tawassul itu banyak dipungkiri oleh sebagian saudara saudara
kita, mereka berkata kenapa memanggil orang yang sudah mati?, kita
menjawabnya : sungguh kita setiap shalat mengucapkan salam pada Nabi saw
yang telah wafat : Assalamu alaika ayyuhannabiyyu… (Salam sejahtera
atasmu wahai nabi……), dan nabi saw menjawabnya, sebagaimana sabda beliau
saw : “tiadalah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah
mengembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya” (HR Sunan Imam
Baihaqiy Alkubra hadits no.10.050)
Tawassul merupakan salah
satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw,
tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para
tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin,
bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat
radhiyallahu’anhum mengamalkannya. Mereka berdoa dengan perantara atau
tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya
bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang
mengamalkannya.
Tak ada pula yang membedakan antara tawassul
pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada
kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda)
dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan
tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian,
justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan
mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan
terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi
manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati
tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya,
bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah,
berarti si hidup itu sebanding dengan Allah?, si hidup bisa berbuat
sesuatu pada keputusan Allah?,
Tidak saudaraku.. Demi Allah
bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati
dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan
mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan
mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang
mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak
membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT.
Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau
mereka telah wafat.
Sebagai contoh dari bertawassul, seorang
pengemis datang pada seorang saudagar kaya dan dermawan, kebetulan
almarhumah istri saudagar itu adalah tetangganya, lalu saat ia mengemis
pada saudagar itu ia berkata “Berilah hajat saya tuan …saya adalah
tetangga dekat amarhumah istri tuan…” maka tentunya si saudagar akan
memberi lebih pada si pengemis karena ia tetangga mendiang istrinya,
Nah… bukankah hal ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?
Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tak bisa memberi
manfaat?, Jelas-jelas saudagar itu akan sangat menghormati atau
mengabulkan hajat si pengemis, atau memberinya uang lebih, karena ia
menyebut nama orang yang ia cintai walau sudah wafat.
Walaupun
seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih
besar, lalu bagaimana dengan Arrahman Arrahiim, yang maha pemurah dan
maha penyantun?, istri saudagar yang telah wafat itu tak bangkit dari
kubur dan tak tahu menahu tentang urusan hajat sipengemis pada si
saudagar, NAMUN TENTUNYA SI PENGEMIS MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG
YANG TELAH WAFAT, entah apa yang membuat pemikiran saudara saudara kita
menyempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini.
Saudara saudaraku, boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa
dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh
berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan
perantara nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda, misalnya
“Wahai Allah Demi kemuliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan
Arafat”, dlsb, tak ada larangan mengenai ini dari Allah, tidak pula dari
Rasul saw, tidak pula dari sahabat, tidak pula dari Tabi’in, tidak pula
dari Imam Imam dan muhadditsin, bahkan sebaliknya Allah
menganjurkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat mengamalkannya,
demikian hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar